Sabtu, 28 Mei 2011

Menjelajahi Bumi Tira Tangka Balang

Khasnya Betang Konut, Indahnya Pegunungan Muller

Alam Murung Raya tak hanya kaya akan sumber daya tambang, tapi juga indah dan eksotis. Pegunungan Muller, aliran Sungai Barito serta budaya menjadi daya tarik tersediri bagi wisatawan.  Dua minggu lalu, Wartawati Kalteng  Pos Vivin mendapat kesempatan menjelajahi kabupaten pemekaran yang berada paling Utara Kalteng ini. Berikut kisahnya.

ADA beberapa lokasi yang bakal disambangi dan sudah masuk agenda penulis dengan ditemani dua rekan dari staf humas Pemkab Mura, yakni huma betang (rumah panggung panjang khas suku Dayak) Konut, di Kecamatan Tanah Siang.

Keistimewaannya, betang ini masih dihuni 10 kepala keluarga (KK), sesuatu yang nampaknya sulit diterima kehidupan moderen. Kemudian menyaksikan panorama alam indah pegunungan Muller dari dataran tinggi kawasan wisata Pasir Putih. Dilanjutkan bertandang ke tugu Khatulistiwa di Tumbang Olong di Desa Tumbang Olong, Kecamatan Uut Murung. Secara geografis Kabupaten Mura terletak di daerah khatulistiwa. Tepatnya pada posisi antara 113° 20`– 115° 55` BT dan antara 0°53`48” LS – 0° 46` 06” LU.

Kecamatan Uut Murung yang letaknya ada pada Titik O0 garis Khatulistiwa, memiliki 5 desa, yakni Desa Tumbang Olong II ( Ibukota Kecamatan ), Desa Tumbang Olong I, Desa Kalasin/ Keramu, Desa Tumbang Tujang, dan Desa Tumbang Topus.

Ritual petualangan di Bumi Tira Tangka Balang – Maju Terus Pantang Mundur - ini tak akan lengkap bila belum mandi dan berendam direngkuhan kesejukan air terjun Bunbun tujuh tingkat. Kepenatan setelah menempuh perjalanan darat selama sekitar 3 jam pun seakan lebur dalam gemerisiknya tirai-tirai air yang berjatuhan di isi tebing bebatuan dan terjangan ombak yang tercipta karenanya. Perjalanan wisata ini pun semakin lengkap setelah bertemu dengan Hj Hartini, pembuat lempok/lampuk turun temurun, yang menjadikan Puruk Cahu menjadi identik dengan legitnya dodol durian tersebut. 

Untuk menuju kabupaten luas wilayah sekitar 23.700 Km persegi ini, bila dari ibukota provinsi Palangka Raya, umumnya dapat ditempuh melalui jalur darat dan udara. Transportasi lewat darat yang dilayani beberapa biro perjalanan (travel) ini memakan waktu sekitar 8 jam. Jarak ini bakal lebih singkat lagi setelah jembatan Kalahien yang membentang di atas sungai Barito di Kabupaten Barito Selatan (Barsel) usai diresmikan, pada Kamis (25/11).

”Dengan selesainya jembatan Kalahien, tak perlu lagi ada antrean kendaraan yang dulunya harus menyeberang menggunakan feri. Otomatis waktu menjadi lebih singkat,” jelas Wandi warga Puruk Cahu.

Sekali jalan, biaya travel yang dipatok antara Rp 280 ribu – Rp 300 ribu. Setelah tiba di ibukota kabupaten, Puruk Cahu wisatawan pun bisa memilih penginapan atau hotel yang cukup representatif dengan biaya mulai Rp 50 ribu dengan fasilitas kipas angin, sampai Rp 300 ribu yang dilengkapi pendingin udara (air conditioner) dan kamar mandi di dalam, lengkap dengan shower.

Sedangkan untuk tiket pesawat, harus menyiapkan dana sekitar Rp 580 ribu ditambah Rp 150 ribu untuk naik ojek dari bandara ke Puruk Cahu. Nah, sesuai rute perjalanan rombongan kecil kami yang memilih menyewa kendaraan double gardan dengan biaya sekitar Rp 1 juta per hari pun sampai di betang Konut, sekitar 20 menit dari Puruk Cahu dengan melalui kontur jalan yang berbukit-bukit, serta pembangunan beberapa jembatan. Otomatis kelancaran perjalanan pun agak tersendat melalui rute-rute tersebut. Di betang yang memiliki 1 pintu rumah utama dengan 10 kamar di bagian dalamnya ini pun bertukar kisah dengan Ayau sang kepala keluarga.

Ada 10 KK yang berdiam dalam satu rumah, selain Ayau yang memang dituakan. Diantaranya Sidang, Powot, Isgat, Awa, dan satu orang perempuan yang masuk dalam klan keluarga tradisional itu Busut. Rata-rata mereka adalah petani karet dengan penghasilan cukup.

Pria kelahiran 1953 ini berkisah, betang yang sudah didirikan sebelum penjajahan Belanda ratusan lalu itu sudah 3 kali direhab. Ia pun sudah lupa, entah keturunan yang keberapa dari nenek moyangnya penghuni pertama rumah panjang itu.

”Saya dan anak-anak yang telah berkeluarga tetap tinggal di rumah betang warisan keluarga ini,” ucap Ayau, dalam bahasa Dayak Ngaju yang juga bercampur dialek suku Siang di Tanah Siang, bahkan sesekali diselingi bahasa Bakumpai. Menurutnya, banyak tamu yang kerap bertandang ke betang yang di depannya berdiri 2 buah sapundu (patung) berbentuk pria dan wanita dalam balutan baju adat Dayak itu. Rata-rata ingin melihat dari dekat pola hidup rukun yang terjalin dalam rumah betang dengan 10 keluarga itu.  asanya, dalam kehidupan moderen saat ini sulit membayangkan bila ada 10 KK yang masing-masing memiliki anak bisa hidup rukun dalam satu rumah.

”Justru tradisi inilah yang ingin kami jaga, tetap mampu hidup rukun sebagai sebuah keluarga,” ungkap Ayau yang tak menampik ada pula dari anak-anaknya membeli tanah di sekitar desa serta membangun rumah seperti umumnya. 

Setelah puas berbincang, perjalanan pun dilanjutkan. Bila ke betang hanya butuh waktu 20 menit, menuju tempat wisata pegunungan Pasir Putih memakan waktu sekitar 2 jam melalui jalan perusahaan berupa tanah keras. Jalan berkelok, turun naik yang di kiri kanannya kadang diapit hutan, dan di kejauhan terlihat sajian lukisan alam pegunungan Muller menghijau menjadi sajian tersendiri, sekedar untuk menyegarkan mata. Begitu perjalanan sampai di kaki pegunungan Pasir Putih dan kami keluar dari mobil, sungguh ucapan kagum dan rasa syukur pada Sang Pencipta segera terlompat dari bibir ini.  ”Luar biasa karyaMu, Tuhan.” Bagaimana mungkin kekaguman itu tak terucap, bila di depan mata tersaji pemandangan sejuk menghijaunya lembah di samping jalan dengan hamparan pegunungan Muller yang tersaji di kejauhan.

Untuk menikmati pemandangan itu dengan sempurna, tak cukup hanya berdiri memandang di pinggir jalan. Kami pun memilih naik tebing Pasir Putih yang terdiri dari lekukan-lekukan tanah liat berwarna putih hingga sampai ke pondok-pondok yang sengaja di bangun pemkab setempat, menjadi tempat bersantai dan menikmati semilir angin saat menikmati lukisan alam karya Sang Mahakarya itu.

Sebenarnya ada jalan memutar yang bisa dilalui mobil, namun agar menjadi lebih menantang saya lebih memilih mendaki tebing tanah yang ada. Karena saya tak sabar ingin melihat keindahan yang sudah terbentang di depan mata, melalui sudut pandang di atas ketinggian Pasir Putih.

Ya, mungkin bagi yang kerap bertandang ke Pasir Putih rasanya tak seistimewa seperti yang saya rasakan. Penat di jalan yang berkelok bagai terbayar lunas. Salah satu keistimewaan kawasan wisata yang kerap dikunjungi warga tiap libur hari keagamaan atau akhir tahun ini adalah tekstur tanah yang berbeda dari kawasan jalan di sekitarnya. Sama seperti namanya, tanah di lokasi ini warnanya putih, begitu pula pasirnya. Padahal umumnya di kawasan Mura tanah liatnya berwarna merah.

Di lokasi ini, kami cukup lama menikmati panorama yang tersaji sambil tak lupa berpuas diri menjepret obyek dan merekamnya melalui kamera. Tentu saja tak lupa ’bernarsis ria’ (saling memotret sesama rekan) dengan latar belakang keindahan panorama itu. (Diterbitkan di Kalteng Pos, edisi Minggu, 28 November 2010)


Lokasi: Pasir Putih dengan latar belakang pegunungan Muller, Puruk Cahu, Kalteng

2 komentar:

  1. Kak bs mnta no hp kah? Sy tertarik ke Mura. Mike: michaelrisdianto@gmail.com

    BalasHapus