Oleh: Vivin Gusta
Persoalan tanah (lahan)
masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang belum usai dituntaskan pemerintah
hingga kini. Tumpang tindih lahan acapkali mendominasi masalah yang berhubungan
dengan investasi tak bergerak tersebut. Pemerintah pun membentuk tim, untuk
mendata kepemilikan tanah yang sedang bersengketa agar bisa dicarikan jalan
keluarnya.
Lembaga resmi pengukur
tanah pun tak kurang sibuk meladeni permintaan masyarakat untuk dibuatkan surat
bukti kepemilikan dan lain-lain yang berkuatan hukum. Pengadilan pun tak pernah sepi dari kasus
klaim mengklaim lahan oleh para “pemilik” yang memilih jalur hukum untuk
mengembalikan apa yang menjadi haknya.
Tanah (lahan) bagi
sebagian orang merupakan investasi jangka panjang yang diharapkan memberikan
keuntungan di masa mendatang. Sebab, investasi jenis ini harganya tidak akan
pernah turun, sama seperti property semakin lama harganya semakin membumbung.
Walaupun kenyataannya saat meninggalkan dunia, hanya tanah ukuran sekitar 1x1,5
meter saja yang diperlukan sehebat, sekaya apapun seseorang. Hal ini pun
berlaku bagi juragan tanah yang semasa hidupnya memiliki ratusan hektar
lahan.
Tak heran pula bila
sebagian masyarakat memilih menabungkan unagnya untuk membeli sebidang tanah.
Bukan sekedar untuk “menajak” (mendirikan) rumah atau berkebun, tapi juga modal
membangun rumah tangga bagi kaum pria bujangan. Terlebih masyarakat Dayak mengenal
istilah “petak pelaku” saat melamar/menikahi seorang gadis Dayak.
Namun ada baiknya kita
berhati-hati bila ingin membeli tanah. “Jangan sampai kita seperti membeli
kucing dalam karung,” nasehat Nuel, salah seorang warga yang sempat terbelit
perkara tanah.
Maksudnya sudah jelas,
adalah lebih baik bagi kita bila ingin membeli tanah dan menginvestasikan uang
ke lahan tahu dengan baik, apa yang ingin kita beli. Jangan sekedar tertarik
karena harga jual yang murah dan terjangkau oleh kantong. Cek lokasi, kondisi
lahan, surat menyurat dan lain-lain. Ini untuk menghindari masalah di kemudian
hari. Cek juga apakah lahan tersebut bebas sengketa dan tidak terjadi tumpang
tindih surat kepemilikan. Dengan begitu tidak akan terjadi pembeli tanah jadi
kebingungan saat hendak mengolah tanah miliknya atau menjual kembali ke orang
lain. Jangan sampai terjadi uang hilang tanah melayang.
“Kalau jalan sudah buntu
dalam mengurus tanah, apa boleh buat sebagai warga Negara yang taat hukum, kita
minta bantuan hukum sebagai jalan penengah menyelesaikan permasalahn kita,”
tegas Agus, salah seorang warga yang kini merasakan ribetnya mengurus properti
tanah.
Jika sudah menempuh jalur
hukum, mau tak mau ada preseden yang buruk bagi pemilik tanah atau penjualnya. Paling
tidak namanya akan tercatat di data penegak hukum. Nama bisa jadi ternoda, waktu pun terbuang
bagi yang bersengketa. Hal yang tentu sama-sama tak kita inginkan bukan? (*)
Catatan: sudah terbit di Kalteng Pos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar