Kamis, 30 Mei 2013

Hati-hati Membeli Tanah

Oleh: Vivin Gusta
Persoalan tanah (lahan) masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang belum usai dituntaskan pemerintah hingga kini. Tumpang tindih lahan acapkali mendominasi masalah yang berhubungan dengan investasi tak bergerak tersebut. Pemerintah pun membentuk tim, untuk mendata kepemilikan tanah yang sedang bersengketa agar bisa dicarikan jalan keluarnya.
Lembaga resmi pengukur tanah pun tak kurang sibuk meladeni permintaan masyarakat untuk dibuatkan surat bukti kepemilikan dan lain-lain yang berkuatan hukum.  Pengadilan pun tak pernah sepi dari kasus klaim mengklaim lahan oleh para “pemilik” yang memilih jalur hukum untuk mengembalikan apa yang menjadi haknya. 
Tanah (lahan) bagi sebagian orang merupakan investasi jangka panjang yang diharapkan memberikan keuntungan di masa mendatang. Sebab, investasi jenis ini harganya tidak akan pernah turun, sama seperti property semakin lama harganya semakin membumbung. Walaupun kenyataannya saat meninggalkan dunia, hanya tanah ukuran sekitar 1x1,5 meter saja yang diperlukan sehebat, sekaya apapun seseorang. Hal ini pun berlaku bagi juragan tanah yang semasa hidupnya memiliki ratusan hektar lahan. 
   
Tak heran pula bila sebagian masyarakat memilih menabungkan unagnya untuk membeli sebidang tanah. Bukan sekedar untuk “menajak” (mendirikan) rumah atau berkebun, tapi juga modal membangun rumah tangga bagi kaum pria bujangan. Terlebih masyarakat Dayak mengenal istilah “petak pelaku” saat melamar/menikahi seorang gadis Dayak.
Namun ada baiknya kita berhati-hati bila ingin membeli tanah. “Jangan sampai kita seperti membeli kucing dalam karung,” nasehat Nuel, salah seorang warga yang sempat terbelit perkara tanah.
Maksudnya sudah jelas, adalah lebih baik bagi kita bila ingin membeli tanah dan menginvestasikan uang ke lahan tahu dengan baik, apa yang ingin kita beli. Jangan sekedar tertarik karena harga jual yang murah dan terjangkau oleh kantong. Cek lokasi, kondisi lahan, surat menyurat dan lain-lain. Ini untuk menghindari masalah di kemudian hari. Cek juga apakah lahan tersebut bebas sengketa dan tidak terjadi tumpang tindih surat kepemilikan. Dengan begitu tidak akan terjadi pembeli tanah jadi kebingungan saat hendak mengolah tanah miliknya atau menjual kembali ke orang lain. Jangan sampai terjadi uang hilang tanah melayang. 
“Kalau jalan sudah buntu dalam mengurus tanah, apa boleh buat sebagai warga Negara yang taat hukum, kita minta bantuan hukum sebagai jalan penengah menyelesaikan permasalahn kita,” tegas Agus, salah seorang warga yang kini merasakan ribetnya mengurus properti tanah.    
Jika sudah menempuh jalur hukum, mau tak mau ada preseden yang buruk bagi pemilik tanah atau penjualnya. Paling tidak namanya akan tercatat di data penegak hukum.  Nama bisa jadi ternoda, waktu pun terbuang bagi yang bersengketa. Hal yang tentu sama-sama tak kita inginkan bukan? (*)

 Catatan: sudah terbit di Kalteng Pos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar