Senin, 16 Januari 2012

Melihat Pola Pendidikan Anak di Negeri Jiran (2)

Alat Bermain di Raffles Montessori Tak Jauh Beda dengan di Indonesia

Bila pola pendidikan anak usia dini (PAUD) di International Islamic University Malaysia (IIUM) lebih mengutamakan hasil, maka pendidikan  formal di Raffles Montessori Singapura lebih ke proses. Berikut tulisannya.

SEVENTIN GUSTA – Singapura
Bukan sebuah kebetulan bila tim pengajar yang bergabung dalam studi banding Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak Indonesia (IGTKI) – PGRI Provinsi Kalteng, Jawa Timur, dan Jawa Tengah bekerjasam dsengan penerbit buku PT Intan Pariwara bertandang ke dua sekolah ternama di negaranya masing-masing.
“Sekolah-sekolah inilah yang direkomendasikan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia, red) untuk kita kunjungi, jadi bukan sembarangan didatangi,” jelas  Ketua Umum IGTKI - PGRI Provinsi Kalteng Ruan Riwu SPd MPd.
Selepas menyambangi IIUM, lusanya kalangan ‘cekgu’ (panggilan terhormat bagi guru dalam Bahasa Melayu Malaysia) ini pun diagendakan melihat proses belajar mengajar di sekolah berbahasa Inggris yang beralamat di 46 Lorong 23 Geylang, Fansida Building, Singapore.
Sayangnya, proses interaksi antara guru dan murid yang menganut metode pendidikan Montessori yang dikembangkan oleh Dr Maria Montessori (31 Agustus 1870- 6 Mei 1952) gagal disaksikan langsung. Pola pendidikan ini percaya bahwa setiap anak adalah unik dan berbeda dari orang dewasa dan akan berkembang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Tugas orang dewasa dan pendidik adalah memberikan sarana dorongan belajar dan memfasilitasinya ketika mereka telah siap untuk mempelajari sesuatu.
Rombongan cekgu kehabisan waktu karena  tertahan di keimigirasian Singapura, hingga anak-anak yang belajar sudah pulang dan yang tertinggal di sekolah hanya Director Raffles Montessori Mrs Emily Khng dan dua orang guru lainnya.

Padahal para pendidik ini sudah berusaha berangkat tepat waktu, sehari sebelumnyanya bermalam di Johor Baru, Sekudai sebuah kota paling Selatan di Malaysia. Diperkirakan dengan jarak tempuh dari Johor Baru ke Singapura yang memakan waktu sekitar 3-4 jam, bakal banyak  banyak waktu tersedia untuk melihat anak-anak belajar. 

Apa daya, keimigrasian yang terkenal cukup ketat memberlakukan aturan masuk ke negaranya pun menahan hampir sekitar 20 guru untuk memastikan mereka bukan termasuk dalam daftar cekal. Dengar-dengar ada guru yang wajahnya dianggap mirip dengan istri salah seorang teroris. Ditambah ada beberapa data  dalam paspor yang harus diperjelas. Misalnya, cap jempolnya tak jelas. Hingga jarinya harus diperiksa ulang dengan scanner untuk mencocokkan data.

Apalagi menurut tour guide dari Malaysia Zaenal, belakangan Imigrasi Singapura cukup galak terhadap warga Indonesia akibat tertangkapnya Mas Selamat Kastari teroris yang tercatat sebagai warga negara Singapura. Masalahnya pria yang berencana membajak pesawat ini disebut-sebut berasal dari Jawa Timur.   

Setelah tertahan hampir tiga jam, rombongan pun bisa masuk ke negeri bekas jajahan Inggris dan warganya tak memiliki tanah pribadi layaknya di Indonesia itu. Kali ini ada pergantian tour guide. Ada aturan, untuk berkeliling Singapura wisatawan harus didampingi tour guide dari negeri berlambang Malayan (ikan berkepala singa) itu sendiri.     

Kali ini para ‘principal’ (guru) didampingi guide sekaligus penterjemah perempuan berdarah India Haras. Perempuan berkulit gelap dan berhidung mancung ini pula yang jadi jembatan komunikasi saat guru-guru bertandang ke Raffles Montessori.

Bisa dikatakan guru-guru mendapat pengajaran di sini. Sebab pada dasarnya apa yang diterapkan di sekolah tersebut, mengemas pembelajaran dengan cara menarik dan menyenangkan bagi anak-anak lewat beragam alat permainan sudah diterapkan di Indonesia. 

“Kami membimbing anak agar bisa mandiri sejak dini, dengan demikian tingkat pengetahuan, keterampilan dan pembiasaan belajarnya berkembang secara alami,” papar Emily yang tampil dalam busana kasual. 

Rupanya penampilan Emily yang ‘tak biasa’ dengan tanktop warna hitam sebatas dada di balut kemaja putih dan bawahan hitam selutut dan rambut tergerai bergelombang bagi guru-guru di Indonesia pun mendapat apresiasi tersendiri.

“Kalau kita yang pegawai negeri harus berseragam. Padahal dengan seragam ini kesannya jadi kaku,” celetuk salah seorang guru yang kemudian ditimpali rekan lainnya. (*)

Foto: Vivin
Ketua IGTKI Kalteng Ruan Riwu (kanan) menyerahkan kenang-kenangan berupa kerajian berbentuk kapal dari getah nyatu (getah dari pohon yang hanya tumbuh di Kalteng) kepada Emily, Kepala Sekolah Raffles Montessori.

Catatan: Tulisan ini sudah terbit di Kalteng Pos, Maret 2010. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar