Demam EURO 2012 hampir bisa dipastikan melanda
seluruh kalangan. Tak hanya kaum pria yang notabene identik dengan pecinta
olahraga rebutan bola bundar ini rela begadang menunggu Negara jagoannya
bermain, kaum perempuan pun tak segan-segan ikut dalam fanatisme membela timnas
Negara idolanya. Walaupun jika bicara alasan dukungan yang diberikan
kadang-kadang sangat tipis dan tak masuk akal. Tapi itulah kemampuan euphoria
EURO 2012 mempengaruhi pecinta bola.
“Pokoknya apapun yang terjadi aku tetap membela
Perancis,” ungkap salah seorang pecinta bola yang ternyata menjagokan Negara
Napoleon itu hanya karena ia sarjana sastra jurusan Bahasa Perancis.
Ya, fanatisme makin mengemuka selama laga Piala
Eropa ini dipertandingkan. Tentu saja hal itu sah-sah saja. Sama seperti sah
pula bagi para pecinta bola menyemarakkan laga Negara pilihannya saat
bertanding dengan sejumlah taruhan. Mulai dari sekedar traktiran nonton bagi
yang menang, sampai taruhan yang lebih besar dari itu.
Masalahnya, bicara tentang fanatisme
kecenderungannya justru lebih pada ekses negatifnya. Fanatisme diterjemahkan
Wikipedia sebagai sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok
yang menganut sebuah paham, baik politik,
agama,
kebudayaan
atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat
kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik
serius.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, fanatisme juga berarti kesenangan
yang berlebihan (tergila-gila, keranjingan). Fanatisme sendiri sebenarnya tak
salah, karena itu menunjukkan keberanian seseorang memilih. Artinya si individu
tersebut bukan seseorang yang apatis, tapi memiliki semangat mengarungi hidup,
dengan caranya. Masalah terjadi saat fanatisme ini melahirkan diri dengan
sebuah kecenderungan merusak.
Contoh fanatisme simpel tercermin dalam bentrok
antara fans Polandia-Rusia. Padahal Laga Polandia melawan Rusia berakhir imbang 1-1.
Bentrokan terjadi saat suporter keluar dari Stadion Narodowy, Warsawa,
Polandia, mengungkapkan kegembiraan menuju Jembatan Poniatowskigo. Tiba-tiba
seorang suporter mengejar pendukung lain dan berujung perkelahian.
Ini yang terjadi di luarnegeri. Kisah kelam para
supporter fanatik pun tak asing di Indonesia. Tragedi tewasnya tiga suporter
usai laga Persija Jakarta versus Persib, Minggu, 27 Mei lalu disusul dengan
tewasnya supporter Perssebaya di Staidon Tambaksari Surabaya usai laga antara
Persebaya Surabaya versus Persija IPL, Minggu, 3 Juni lalu.
Bukan
hanya di dunia bola, fanatisme mengemuka. Menjelang perhelatan politik
pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah pada 2013 mendatang, fanatisme
diprediksi bakal menunjukkan sosoknya.
Alangkah
lebih baik jika seluruh pendukung partai atau calon tertentu tak terjebak dalam
sikap fanatisme yang membabi buta terhadap pilihan politiknya. Untuk meredam
fanatisme yang cenderung merusak tentu saja tak lepas dari campur tangan elit
politik masing-masing partai. Figur sang tokoh politik yang diidolakan tentu
lebih mudah didengar para pengusungnya.
Mari
menyongsong pesta politik untuk memilih figur pemimpin pilihan, tanpa terjebak
dalam fanatisme yang merusak. (*)
Catatan: Tulisan ini sudah terbit di Kalteng Pos, edisi Senin, 18 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar