Kamis, 21 Juni 2012

Fanatisme dan Sebuah Pilihan

OLEH: VIVIN GUSTA
Demam EURO 2012 hampir bisa dipastikan melanda seluruh kalangan. Tak hanya kaum pria yang notabene identik dengan pecinta olahraga rebutan bola bundar ini rela begadang menunggu Negara jagoannya bermain, kaum perempuan pun tak segan-segan ikut dalam fanatisme membela timnas Negara idolanya. Walaupun jika bicara alasan dukungan yang diberikan kadang-kadang sangat tipis dan tak masuk akal. Tapi itulah kemampuan euphoria EURO 2012 mempengaruhi pecinta bola.

“Pokoknya apapun yang terjadi aku tetap membela Perancis,” ungkap salah seorang pecinta bola yang ternyata menjagokan Negara Napoleon itu hanya karena ia sarjana sastra jurusan Bahasa Perancis.

Ya, fanatisme makin mengemuka selama laga Piala Eropa ini dipertandingkan. Tentu saja hal itu sah-sah saja. Sama seperti sah pula bagi para pecinta bola menyemarakkan laga Negara pilihannya saat bertanding dengan sejumlah taruhan. Mulai dari sekedar traktiran nonton bagi yang menang, sampai taruhan yang lebih besar dari itu. 

Masalahnya, bicara tentang fanatisme kecenderungannya justru lebih pada ekses negatifnya. Fanatisme diterjemahkan Wikipedia sebagai sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius. 

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, fanatisme juga berarti kesenangan yang berlebihan (tergila-gila, keranjingan). Fanatisme sendiri sebenarnya tak salah, karena itu menunjukkan keberanian seseorang memilih. Artinya si individu tersebut bukan seseorang yang apatis, tapi memiliki semangat mengarungi hidup, dengan caranya. Masalah terjadi saat fanatisme ini melahirkan diri dengan sebuah kecenderungan merusak.

Contoh fanatisme simpel tercermin dalam bentrok antara fans Polandia-Rusia. Padahal Laga Polandia melawan Rusia berakhir imbang 1-1. Bentrokan terjadi saat suporter keluar dari Stadion Narodowy, Warsawa, Polandia, mengungkapkan kegembiraan menuju Jembatan Poniatowskigo. Tiba-tiba seorang suporter mengejar pendukung lain dan berujung perkelahian.

Ini yang terjadi di luarnegeri. Kisah kelam para supporter fanatik pun tak asing di Indonesia. Tragedi tewasnya tiga suporter usai laga Persija Jakarta versus Persib, Minggu, 27 Mei lalu disusul dengan tewasnya supporter Perssebaya di Staidon Tambaksari Surabaya usai laga antara Persebaya Surabaya versus Persija IPL, Minggu, 3 Juni lalu.  

Bukan hanya di dunia bola, fanatisme mengemuka. Menjelang perhelatan politik pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah pada 2013 mendatang, fanatisme diprediksi bakal menunjukkan  sosoknya. 

Alangkah lebih baik jika seluruh pendukung partai atau calon tertentu tak terjebak dalam sikap fanatisme yang membabi buta terhadap pilihan politiknya. Untuk meredam fanatisme yang cenderung merusak tentu saja tak lepas dari campur tangan elit politik masing-masing partai. Figur sang tokoh politik yang diidolakan tentu lebih mudah didengar para pengusungnya. 

Mari menyongsong pesta politik untuk memilih figur pemimpin pilihan, tanpa terjebak dalam fanatisme yang merusak. (*)

Catatan: Tulisan ini sudah terbit di Kalteng Pos, edisi Senin, 18 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar