Selasa, 05 Juni 2012

Pergaulan Buruk, Merusak Kebiasaan yang Baik

Refleksi: oleh VIVIN GUSTA

Minggu ini publik di Kalteng dihentakkan berita mengejutkan, 15 orang tewas akibat menenggak minuman oplosan yang kerap disebut ‘Molek’ di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara (Batara). Mirisnya, kematian sia-sia ini didominasi korban berusia belasan tahun.

Menurut pengakuan korban yang selamat, menenggak molek, campuran alkohol murni pembasuh luka di bagian luar tubuh dan berbagai merek serbuk minuman penambah tenaga itu sudah sering dilakukan. Minuman oplosan ini pun tak cuma dikonsumsi remaja berjenis kelamin pria, tapi juga wanita.

Bagi orangtua, ini merupakan sebuah pengakuan yang mengejutkan. Apalagi sebelum tragedi ini sejumlah tokoh agama, dan tokoh masyarakat meminta ke pada kepolisian setempat untuk menggencarkan razia molek, termasuk minuman keras lainnya.

Kekhawatiran soal kenakalan remaja ini pun kerap diungkapkan para pemimpin daerah. Terutama mereka yang memegang jabatan sebagai Ketua Badan Narkotika di daerahnya masing-masing. 

Peristiwa di Muara Teweh ini kembali menyentakkan pertanyaan, sudah sedemikan parahkah kenakalan remaja di tengah kita? Lalu siapakah yang harusnya bertanggungjawab?

Jika orangtua ditanya soal mendidik anak, pasti semua orangtua mengaku sudah mendidik anak mereka dengan baik dan tidak ada satu pun yang menginginkan keturunan mereka menjadi pemabuk atau melakukan hal buruk lainnya. Bila demikian, lingkungan yang ditunjuk jadi penyebab anak menjadi nakal. Benarkah asumsi ini?

Seandainya kita mau jujur, lingkungan memang membawa pengaruh kuat yang bisa mengubah seseorang. Tak heran kemudian muncul ungkapan, kalau ingin menjadi kyai bergaul kariblah dengan kyai. Jika ingin menjadi pendeta sering-seringlah bergaul dengan mereka. Begitu pula sebaliknya, bila ingin menjadi pemabuk, mudah saja, sering-seringlah berkumpul dengan ‘drunken master’ (baca:pemabuk). Bila sudah begitu, mutiara kata yang menyebut ‘pergaulan buruk merusakkan kebiasaan yang baik’ menemukan pembenarannya.

Sering dikatakan, remaja adalah pribadi labil yang sedang mencari identitasnya. ‘Kelabilan’ ini justru menjadi peluang bagi orangtua atau semua elemen masyarakat berusia dewasa untuk menjadi ‘pembawa pengaruh positif’ bagi remaja. Memang banyak faktor yang menyebabkan seorang remaja berperilaku buruk. Tapi seandainya itu semua tergantung pada kita, mengapa kita tidak memilih mengusahakan hal positif bagi remaja disekitar kita?

Bukankah jika kita ikut perduli dan mengupayakan pengaruh positif bagi kaum remaja ini, kita ikut mempersiapkan sebuah generasi berkemenangan yang tak hanya bisa larut dalam pusaran arus negatif, namun berdampak positif pula bagi lingkungan pertemanannya. Membawa dampak positif bagi lingkungan, sama dengan mengalirkan aura kebahagian bagi orang lain. Seperti talang air, sebelum sampai ke bak penampungannya talang ini lebih dulu merasakan aliran itu mengalir melalui dirinya. Hal sama pun berlaku bagi kita.

Catatan: Tulisan sudah terbit di Kalteng Pos, Februari 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar